Perempuan dan Dinamikanya
Abstract
Sepanjang sejarah, perempuan memimpikan mendapat hak dan kesempatan yang sama untuk dapat berkiprah di bidang politik sebagaimana halnya laki-laki. Arena politik memang menjadi saksi terjadinya maskulinitas peran publik. Maloutas (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya, demokrasi berkarakter maskulin. Oleh karena itu, demokrasi substansial sebagai suatu proyek sosial tidak bisa berdampingan dengan sistem relasi gender yang tumbuh di tengah masyarakat karena pada dasarnya relasi itu bersifat dikotomis dan secara tegas membatasi kategori sosial antara status superior dan inferior. Di Indonesia, setelah Reformasi 1998 ruang demokrasi pun terbuka. Politik yang awalnya bersifat otoriter kemudian membuka ruang bagi semua orang, termasuk bagi perempuan untuk terlibat di dalam proses politik dan pengambilan keputusan. Gerakan perempuan dimulai pada tahun 2004 dimana perempuan memutuskan untuk bergerak dan terlibat di dalam politik. Perempuan memutuskan untuk harus hadir dan memanfaatkan ruang politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan perempuan.