Show simple item record

dc.date.accessioned2022-01-18T06:26:42Z
dc.date.available2022-01-18T06:26:42Z
dc.date.issued2021-12-31
dc.identifier.urihttp://repository.unmul.ac.id/handle/123456789/14206
dc.descriptionA. Latar Belakang Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 6 ayat 1 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan oleh kedua belah calon mempelai, baik pria maupun mempelai wanita, yang dimana berbunyi Perkawinan hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pernikahan dibagi menjadi dua cara, pernikahan tanpa adat dan pernikahan adat. Pernikahan adat adalah pernikahan yang menggunakan adat istiadat dari calon mempelai baik pria maupun wanita yang menyangkut latar belakang suku dari mempelai pria maupun wanita. Pernikahan adat biasanya menggunakan tradisi adat dari mempelai yang bisa berupa acara seserahan atau mahar untuk pemberian kepada pihak wanita atau pria, baju atau pakaian adat perkawinan, persembahan tarian dan nyayian, atau bahkan dalam tata acara dalam pernikahan itu sendiri. Beberapa adat pernikahan didalamnya terdapat tata cara yang sangat kental mulai dari pengenalan antara pria dan wanita, pertunangan, seserahan atau penyerahan mahar, sampai kepada pernikahan, akan tetapi beberapa adat pernikahan disalah gunakan dan melanggar undang-undang dan dianggap sebagai hal yang wajar walaupun tidak sesuai dengan peraturan, undang-undang, maupun norma, contohnya adalah Kawin Tangkap yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Kawin tangkap diterjemahkan oleh warga setempat sebagai tahap awal perkawinan adat. Praktik yang sudah dikenal di pedalaman Nusa Tenggara Timur sejak dulu ini diawali dengan pura-pura menculik calon mempelai perempuan yang sudah didandani ke rumah calon mempelai laki-laki. Peminangan baru resmi dimulai setelah calon mempelai perempuan setuju untuk menikah, disusul penyerahan belis (mahar). Praktik kawin tangkap ini merupakan adat di kawasan Sumba, Nusa Tenggara Timur yang dimana adat istiadat setempat disalah gunakan oleh segelintir orang. Kawin tangkap yang disalah gunakan oleh beberapa orang tersebut, dalam beberapa kasus dilakukan mirip penculikan dan mempermalukan perempuan. Beberapa kasus penyalahgunaan adat kawin tangkap, Perempuan ditangkap dan dibawa oleh beberapa orang, kemudian dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak disuka, bahkan tidak dikenal. Perempuan ditangkap dan dipaksa untuk menikah dalam kawin tangkap oleh pihak laki-laki menjadi kekerasan teroraganisir terhadap perempuan. Ironisnya kawin Tangkap yang salah masih sering dilakukan dan mengakibatkan banyak sekali perkawinan yang dipaksa padahal sebuah perkawinan harus ada persetujuan kedua belah pihak berkehendak bebas dan tanpa ada paksaan. Bisa dilihat dari beberapa fakta penyalahgunaan praktik adat kawin tangkap masih terjadi hal ini tidak sesuai dengan isi pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dimana perkawinan harus ada persetujuan kedua belah pihak kedua pasangan bukan hanya sebagai adat istiadat dan tanpa paksaan. Selain itu juga adanya penyalahgunaan kawin tangkap yang tidak sesuai dengan adat ini masih terjadi dan dianggap sebagai tradisi, Contohnya Citra, bukan nama sebenarnya, menceritakan praktik 'Kawin Tangkap' yang dia alami saat tinggal di Kabupaten Sumba Tengah pada 2017 . Ia mengaku ditangkap dan ditahan selama berhari-hari oleh pihak keluarga yang menginginkannya sebagai menantu. Menurut data yang dikumpulkan Aprissa Taranau, ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Sumba, setidaknya ada tujuh kasus kawin tangkap sepanjang 2016 hingga Juni 2020, termasuk kejadian yang menimpa Citra. Beberapa perempuan berhasil melepaskan diri, sementara tiga di antara mereka melanjutkan perkawinan, kata Aprissa . Dua kasus yang paling terkini terjadi pada 16 dan 23 Juni 2020, di Sumba Tengah. Salah satu perempuan akhirnya menikah. Pulau Sumba, yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur, terdiri dari empat kabupaten, yakni Sumba Barat, Sumba Barat Daya, sumba Tengah dan Sumba Timur. Praktek kawin tangkap seperti ini tidak sesuai dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 6 ayat 1 bahkan perkawinan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, dimana kawin tangkap ini memaksa perempauan untuk menikah dengan cara menahan mereka kemudian menikahkan dengan seoarang laki2 yang tidak disetujuinya. Salah satu syarat untuk melangsungkan pernikahan sesuai dengan undang-undang yaitu dibutuhkannya keinginan kedua calon mempelai dan persetujuan kedua belah pihak tersebut tanpa dipaksa. Adat kawin tangkap yang salah digunakan tersebut menyebabkan pertanyaan terhadap legalitas atau kekuatan hukum terhadap perkawinan yang secara paksa tersebut, dikarenakan dalam suatu pernikahan membutuhkan persetujuan kedua belah pihak tanpa ada paksaan sesuai dengan Asas perkawinan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang pernikahan. Penyalahgunaan Kawin tangkap yang terjadi juga mempertanyakan praktik atau tata cara didalam sebuah pernikahan yang dilakukan secara adat istiadat tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kedudukan kawin tangkap yang dilakukan secara adat ditinjau dari Undang-Undang no 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? 2. Bagaimana akibat hukum kawin tangkap dalam perpekstif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?en_US
dc.description.abstractUpacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas social. Dewasa ini pernikahan memerlukan adat yang melatarbelakangi sebuah pernikahan seperti Adat Kawin tangkap. Kawin tangkap merupakan salah satu tradisi adat pernikahan di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Adat ini merupakan salah satu adat yang membawa sebuah peranaan berbentuk seperti penculikan oleh calon mempelai pria kepada mempelai wanita. Namun beberapa tahun terakhir adat ini disalah gunakan dan dilpakai untuk memaksaakan sesorang untuk menikahi perempuan yang akan dinikahkan. Penelitian ini mengajukan dua pertanyaan yang pertama menganalisis kedudukan hukum terhadap adat kawin tangkap tersebut ditinjau dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang pernikahan dan yang kedua mengetahui dan mengkaji terkait dampak hukum oleh adat kawin Tangkap terhadap Undang-Undang Perkawinan. Penelitian ini mengahsilkan bahwa 1)kedudukan pernikahan yang sah melalui adat harus mengikuti aturan dari Undang-Undang perkawin dan 2) akibat hukum dar Perkawinan adat Kawin tangkap yang melanggar undang-undang perkawinan.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publishere-journal.fh.unmul.ac.iden_US
dc.titleAKIBAT HUKUM PENYALAHGUNAAN ADAT KAWIN TANGKAP DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Draft)en_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record