Show simple item record

dc.contributor.authorSusanti, Erna
dc.date.accessioned2022-08-20T11:16:56Z
dc.date.available2022-08-20T11:16:56Z
dc.date.issued2022-01
dc.identifier.citation-en_US
dc.identifier.isbn978-623-5925-44-8
dc.identifier.urihttp://repository.unmul.ac.id/handle/123456789/40419
dc.description-en_US
dc.description.abstractPerkawinan diperbolehkan apabila kedua belah pihak atau laki-laki dan perempuan telah berusia 19 tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Seseorang yang menikah dibawah batas usia tersebut tergolong ke dalam pernikahan dini. Seiring juga dengan pengaturan terkait Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu pada Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan bahwa anak adalah Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian pada Ayat (2) menyebutkan mengenai Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perkawinan menjadi salah satu gerbang utama bagi seseorang yang sudah mulai beranjak dewasa untuk membangun kehidupan baru yang lebih mandiri lagi. Pernikahan dini memiliki sejumlah dampak buruk, khususnya bagi perempuan, seperti kesehatan reproduksi dan ekonomi. Namun,  jumlahnya justru meningkat di Indonesia selama pandemi Covid-19. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34.000 permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak dibawah 18 tahun. Jumlah permohonan dispensasi kawin tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan sepanjang tahun lalu yang sebanyak 23.700. Pembinaan dan peningkatan kualitas hidup keluarga merupakan bagian dari upaya pencapaian kesejahteraan bagi individu, baik lahir maupun batin. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa upaya peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga perlu dipertimbangkan untuk mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga berkualitas. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam konteks globalisasi, berpengaruh terhadap perubahan perilaku individu dan masyarakat. Sementara, Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat (11) mendefinisikan ketahanan dan kesejahteraan keluarga sebagai kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.Suatu keluarga akan memiliki ketahanan dan kemandirian yang tinggi apabila keluarga tersebut dapat berperan secara optimal dalam mewujudkan seluruh potensi yang dimilikinya. Lebih jauh lagi, ketahanan keluarga diindikasikan sebagai kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber daya setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk di dalamnya adalah kecukupan akses terhadap pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial. Dengan demikian, ketahanan keluarga merupakan konsep yang mengandung aspek multidimensi.en_US
dc.description.sponsorship-en_US
dc.publisherBintang Pustaka Mandinien_US
dc.relation.ispartofseries-;-
dc.subjectBook Chapteren_US
dc.titleAnak-anak Butuh Merdekaen_US
dc.title.alternative-en_US
dc.typeBook chapteren_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record