dc.description.abstract | Indonesia mempunyai catatan yang sangat baik dimana sejak tahun 1970
sampai dengan 2012, Indonesia merupakan negara produsen terbesar gas bumi di
Asia Pasifik dengan angka 1.909 Juta Ton Equivalent Oil (JT EO), meskipun pada
tahun 2015 menempati posisi 2 terbesar setelah China sebagai negara produsen
gas bumi di Asia Pasifik dengan produksi 67,5 JT EO. Hal ini disajikan dalam Gambar
3 berdasarkan data dari BP Statistical Review (2015) mengenai total produksi gas
alam Asia Pasifik periode 1970-2015. Hingga saat ini produksi gas Indonesia sudah
sangat besar, tetapi Indonesia diperkirakan masih memiliki potensi sumber gas
yang cukup besar. Facts Global Energy (2012) memperkirakan bahwa produksi
kotor gas Indonesia masih di atas 8.300 Million Standard Cubic Feet per Day
(MMSCFD), bahkan diperkirakan dapat di atas 9.000 MMSCFD pada tahun 2020.
Namun Indonesia belum mampu menikmati produksi gas secara maksimal untuk
kebutuhan domestik. Gas cenderung diekspor untuk kepentingan luar negeri dan
tidak menutup kemungkinan termasuk potensi produksi di masa yang akan
datang. Karena itu sudah harus dimulai perencanaan untuk pemanfaatan gas
secara skala besar untuk kebutuhan industri dan rumah tangga, dalam rangka
mengurangi pemakaian bahan bakar minyak dan LPG.
Indonesia hingga saat ini belum menikmati gas secara optimal meskipun
harga gas lebih murah dibanding dengan BBM/LPG. Hal ini terlihat dari pemakaian
bauran sumber energi di Indonesia pada tahun 2015. Berdasarkan data dari BP
Statistical Review (2015) dimana Indonesia masih mengandalkan minyak mentah
dengan persentase sebesar 37%, kemudian gas 18%, dan batubara 40%.
Bandingkan dengan negara-negara lainnya yang sudah menggunakan gas dalam skala yang lebih besar seperti China, India, dan Korea dan ini menjadi semacam
ironi dimana Indonesia sebagai negara penghasil gas terbesar ke 2 di kawasan Asia
Pasifik tetapi pemakaian gas masih relatif kecil dibanding negara-negara lainnya.
Dalam Perpres RI No. 22/2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional
(RUEN), pemerintah telah menargetkan diversifikasi energi pada sumber energi
non-minyak bumi pada 2025. Data 2015 menunjukkan pangsa minyak bumi masih
mendominasi bauran energi nasional dengan angka 47%, sementara pangsa gas
bumi masih sebesar 21%. Di tahun 2025, ditargetkan pangsa minyak bumi akan
menurun hingga kurang dari 25%, sementara pangsa gas bumi diharapkan dapat
meningkat minimal 22%. Sebagai salah satu upaya konkret diversifikasi energi,
pemerintah menginisiasi proyek jargas untuk rumah tangga atau dengan nama lain
jargas kota, yaitu upaya mengalirkan gas bumi melalui jaringan pipa hingga pada
level rumah tangga. Menyadari bahwa kemampuan pendanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbatas, proyek ini dilaksanakan dalam
bentuk penugasan kepada BUMN terkait, yaitu Pertamina dan PT. PGN.
Selain untuk mewujudkan diversifikasi energi, proyek ini juga bertujuan
untuk menekan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Sejak diinisiasi pada 2007,
program konversi minyak tanah ke LPG telah meningkatkan konsumsi LPG nasional
secara signifikan. Data 2018 menunjukkan konsumsi LPG nasional mencapai 7,5
Juta Metrik Ton (MT), meningkat cukup signifikan apabila dibandingkan data 2017
yaitu sebesar 7,1 Juta MT. Besarnya kebutuhan nasional akan LPG tidak mampu
dicukupi oleh produksi dalam negeri. Hasil kilang dalam negeri hanya mampu
menutup kebutuhan sekitar 25%, dibuktikan dengan data produksi LPG selama 5
tahun terakhir cenderung menunjukkan penurunan, pada kisaran level 2 Juta MT.
Sementara, 75% di antara kebutuhan nasional dipenuhi melalui impor. Tren
peningkatan konsumsi LPG nasional dari tahun ke tahun turut mendorong tren
peningkatan impor LPG. Data 2018 menunjukkan impor LPG mencapai 5,6 Juta MT
dan pada 2019 diperkirakan mencapai lebih dari 5,7 Juta MT. Selain diversifikasi energi dan menekan impor LPG, proyek ini juga menjadi
opsi energi yang dinilai lebih murah. Menurut simulasi dari ESDM (2013), apabila
rumah tangga beralih dari penggunaan LPG ke gas bumi, maka biaya yang
dikeluarkan rumah tangga per Million British Thermal Unit (MMBTU) akan turun
sekitar 30,6%. Ketika simulasi disesuaikan dengan data terbaru, serta diasumsikan
rumah tangga adalah golongan konsumen RT (1), maka biaya per MMBTU akan
turun sekitar 10,1%-27,6% (untuk peralihan dari LPG 3 Kg). Selain itu, jargas juga
dinilai lebih aman karena jargas memiliki banyak sistem pengaman dan berat jenis
gas bumi lebih ringan daripada LPG, sehingga akan mengurangi potensi
ledakan/kebakaran. Tidak hanya itu, jargas juga dinilai lebih ramah lingkungan.
Konversi dari LPG ke jargas mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 0,218 Kg per
penggunaan 1 M3 gas bumi (ESDM, 2013).
Pengguna utama gas di Indonesia adalah sektor industri, transportasi,
rumah tangga dan komersial. Pada penelitian ini gas kota dikaitkan dengan
kebutuhan gas untuk sektor rumah tangga dan komersial. Gas kota adalah salah
satu program yang bisa dikembangkan untuk mengatasi gap antara peningkatan
pertumbuhan konsumsi energi masyarakat dibandingkan dengan produksi minyak
dalam negeri yang semakin tinggi. Sekaligus untuk menekan laju pertumbuhan
impor bahan bakar yang tentu saja membebani neraca ekonomi Indonesia.
Perumda Air Minum Danum Taka sebagai BUMD Kabupaten Penajam Paser Utara
berencana mengembangkan jaringan gas kota untuk kegiatan komersial dan
rumah tangga, salah satunya dengan memanfaatkan pipa distribusi yang dibangun
oleh pemerintah pusat. Pipa yang ada saat ini diharapkan dapat memasok gas
untuk kegiatan komersial dan rumah tangga yang berada di wilayah Penajam dan
beberapa Kelurahan terdekat di PPU. Jaringan gas kota adalah rantai nilai akhir
pasokan gas dari sumber gas ke konsumen akhir (end users). Gas dikirimkan
melalui jaringan pipa transmisi ke jaringan pipa distribusi setelah melewati city
gate station untuk selanjutnya didistribusikan ke konsumen akhir. Untuk sampai
ke konsumen akhir, perlu dibangun infrastruktur distribusi gas kota (city gas distribution) seperti jaringan pipa, stasiun regulator dan stasiun meter atau
gabungannya. Pembangunan infrastruktur distribusi gas kota memerlukan biaya
yang harus dihitung secara cermat dan komponen-komponen biaya untuk
pembangunannya harus memenuhi syarat keekonomian.
Studi kelayakan bisnis jargas ini merupakan suatu kegiatan analisis yang
cermat, sistematis, dan menyeluruh mengenai faktor-faktor atau aspek yang
dapat mempengaruhi kemungkinan berhasilnya pelaksanaan gagasan suatu
usaha. Berdasarkan batasan tersebut, dapat dimengerti bahwa studi tersebut
harus membahas semua aspek yang dapat menentukan layak tidaknya gagasan
usaha. Adapun yang menjadi fokus utama bagi analis untuk melakukan studi
kelayakan adalah mengenai analisis biaya dan manfaat. Untuk sampai pada
perhitungan nilai keekonomian tertentu, diperlukan data dan informasi besarnya
potensi demand dari konsumen yang menjadi target, agar biaya investasi untuk
pembangunan infrastruktur distribusi gas kota memenuhi syarat kelayakan yang
diharapkan.
Saat ini data-data mengenai potensi demand dan konsumen yang menjadi
target tersedia Pemda PPU, Pertamina, dan Perumda Air Minum Damum Taka,
sehingga data tersebut dapat dikembangkan menjadi suatu penelitian dalam
menentukan kelayakan investasi Jargas yang akan dibangun dengan menggunakan
metode Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Payback Period
(PP), dan Profitability Index (PI). Setelah dilakukan evaluasi kelayakan investasi dan
investasi dinyatakan layak untuk dijalankan maka tahapan selanjutnya adalah
dirumuskan strategi yang tepat agar pembangunan gas kota ini bisa tumbuh
menjadi bisnis yang bisa diandalkan oleh korporasi, berjalan sesuai dengan
keekonomian dan kelayakan usaha yang sudah disusun dan ditetapkan dalam
rencana bisnis, mendatangkan keuntungan yang diharapkan, sekaligus bisa
berkembang ditengah kompetisi yang ada. | en_US |