Produktivitas dan Kelayakan Finansial Usaha Sarang Walet di Kecamatan Kota Bangun Kabupaten Kutai Kartanegara
Abstract
Sarang walet merupakan hasil hutan bukan kayu bernilai tinggi yang dihasilkan dari air liur burung walet. Teknik pemanenan yang tidak memperhatikan kelestariannya telah mengakibatkan berkurangnya populasi burung walet dan produksi sarang walet. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan membangun rumah walet. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi komposisi tutupan lahan, (2) mengidentifikasi ordo serangga, (3) menganalisis produksi, produktivitas dan populasi, (4) menganalisis kelayakan finansial usahatani burung walet dan (5) menganalisis sensitivitas usaha sarang walet di Kecamatan Kota Bangun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tutupan lahan didominasi oleh semak belukar (56,58%) dan hutan sekunder (27,30%); kedua jenis tutupan lahan tersebut cocok untuk lokasi budidaya burung walet. Serangga yang dominan ditemukan pada semak belukar dan semak belukar rawa adalah Diptera (78,25%), di sawah adalah Diptera (86,7%) dan di perkebunan kelapa sawit adalah Diptera (29,4%) dan Hymenoptera (27,78%). Panen sarang walet dimulai pada tahun ketiga, dengan masa produksi antara 27 dan 45 tahun kemudian, tergantung pada usia dan ukuran rumah serta kualitas kayu yang digunakan. Untuk rumah burung walet dengan ukuran 512 m2 memiliki total produksi pertama 18 kg, produksi tertinggi (54 kg) pada tahun ke-15, produksi optimum dicapai pada tahun ke-11. Untuk rumah walet dengan ukuran 800m2 produksi pertama 12,00 kg, produksi terbesar pada tahun ke-19 (75,50 kg) dan produksi optimum akan dicapai pada tahun ke-12 (56,2 kg). Untuk rumah walet dengan ukuran 1.600m2 total produksi pertama 14,50 kg, produksi tertinggi (yaitu 111 kg) pada tahun ke-23 dan produksi optimum dicapai pada tahun ke-14. Rumah walet 512 m2 memiliki Net B/C 4,06, NPV Rp 1.403,79 juta, IRR 30%, dan PP 5,44 tahun. Rumah walet 800 m2 memiliki Net B/C 2,51, NPV Rp 1.245,33 juta, IRR 25,13%, dan PP 8,84 tahun. Rumah walet ukuran 1.600 m2 memiliki Net B/C 2,27, NPV Rp 1.774,83 juta, IRR 24,09%, dan PP 9,4 tahun. Berdasarkan analisis sensitivitas (biaya meningkat 15%, manfaat menurun 30%, biaya meningkat 15% dan manfaat menurun 30%), budidaya burung walet masih layak dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya burung walet layak secara finansial, terutama untuk rumah burung walet dengan ukuran 512 m2. Diperlukan kebijakan yang mampu melestarikan populasi, produksi dan ketersediaan pakan secara alami. Kebijakan yang dapat dilakukan dengan menjaga keberadaan tutupan lahan sebagai habitat alami serangga terbang yang merupakan pakan alami burung walet. Ketersediaan sumber pakan akan meningkatkan populasi burung walet, yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi sarang walet.