Opini – Menata Masa Depan Kota Samarinda di Tinjau dari Keberadaan Karang Mumus
Karang Mumus Aset yang Terpinggirkan
Peradaban-peradaban besar yang terjadi di dunia itu lahir, tumbuh dan besar di tepi sungai. Peradaban besar manapun berdekatan dengan sungai, begitu juga peradaban besar di Indonesia seperti Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Melayu, Mataram, Banjar dan Batavia. Kalimantan Timur juga memiliki sejarah peradaban sungai merupakan lokasi perkembangan keberadaan kerajaan Kutai yang menarik untuk digali sehingga dapat menjadi refrensi bagi pemerintah daerah dalam menata wilayah.
Bicara soal masa depan Kota Samarinda maka tak bisa lepas dari Sungai Karang Mumus baik dari sisi kesejarahan sebagai peradaban sungai maupun fungsi dan kedudukan strategisnya. Sungai Karang Mumus adalah penanda penting dinamika pertumbuhan dan perkembangan Kota Samarinda. Sungai Karang Mumus adalah anak Sungai Mahakam yang alirannya melewati sebagian besar wilayah Kecamatan di Samarinda. Kawasan yang masuk dalam Daerah Aliran Sungai Karang Mumus juga besar.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sebuah kawasan penting dengan baras ekologis yang merupakan satu kesatuan antara kawasan hulu dan hilir yang harus dikelola secara terintegrasi. Perubahan yang terjadi di salah satu kawasan akan berpengaruh terhadap kawasan lainnya. Apa yang terjadi di hulu akan memberi dampak di hilir dalam bentuk fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut lainnya dalam sistem aliran air. Dan DAS Karang Mumus yang luasnya mencapai 32,196,3 ha adalah salah satu kawasan DAS di Kalimantan Timur dengan tingkat kerusakan prioritas pertama. Sampai dengan tahun 2007, areal lahan kritisnya diperkirakan mencapai 9,106 hektar.
Perkembangan banjir di Kota Samarinda tidak lepas dari tata guna lahan di dalam wilayah DAS Karang Mumus yang berdampak pada menurunnya kemampuan Sungai Karang Mumus sebagai sistem pengendali banjir di Kota Samarinda. Sebagian besar titik banjir di Kota Samarinda berhubungan dengan kondisi DAS Karang Mumus. Tentu tak bisa dipugkiri bahwa banjir di Kota Samarinda terkait dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota serta faktor alam seperti intensitas hujan serta topografi wilayah Kota Samarinda.
Namun ada faktor lain yaitu perilaku baik perilaku kebijakan maupun masyarakat dan sektor usaha tekait dengan kesesuaian pada tata ruang. Perkembangan Kota Samarinda dan penataannya sesungguhnya tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang wilayah. Sehingga tata guna lahan yang terkait dengan perlindungan kawasan, penyerapan air, sanitasi lingkungan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dan inilah yang kemudian menyebabkan banjir di Kota Samarinda menjadi sulit untuk dikendalikan.
Terkait dengan Sungai Karang Mumus misalnya, daerah perlindungan dan penyangganya berubah fungsi mulai dari hulu hingga tengah. Perubahan antara lain untuk pengembangan perumahan, pertanian, ruang usaha dan pertambangan batubara. Hal mana membuat Sungai Karang Mumus kehilangan daya tampung akibat pendangkalan yang masif. Bendungan atau Waduk Benanga yang berfungsi sebagai kolam retensi atau reservoar dalam aliran Sungai Karang Mumus saat ini tak mampu untuk menampung limpasan air hujan di bagian hulu. Luas waduk ini berkurang lebih dari separo karena pendangkalan dan ditumbuhi gulma serta semak-semak di badan waduknya.
Waduk ini juga tidak bisa dipakai untuk mengatur air yang harus masuk ke Sungai Karang Mumus karena bendungannya tidak berpintu air. Pintu airnya hanya ke saluran irigasi untuk pengairan sawah, sementara yang masuk ke Sungai Karang Mumus hanya dibatasi beton bendungan. Maka begitu air lebih tinggi dari beton bendungan akan masuk ke Sungai Karang Mumus tanpa halangan.
Dengan demikian banjir di Kota Samarinda sebagai bencana bukanlah semata bencana alam. Sebab banjir di Kota Samarinda sudah bisa diramalkan kejadiannya atau bisa dikategori sebagai bencana terstruktur. Dengan demikian sebenarnya banjir ini bisa diantisipasi lewat pendekatan yang masif dan konsisten. Pemerintah Kota Samarinda sendiri telah membuat sebuahs kenario master plan penanganan bencana banjir dari tahun 2016 hingga tahun 2035. Grand strategi dengan berbagai proyek ini diperkirakan menelan dana hingga mencapai 5,26 trilyun dalam jangka waktu 20 tahun.
Master plan ini memuat upaya pengendalian banjir yang meliputi: pembuatan atau perbaikan saluran sanitasi lingkungan, pembuatan kolam retensi, pengadaan pompa, pengadaan alat penangkap lumpur, serta penanganan-penanganan khusus bencana banjir. Dalam rancangan RPJMD tahun 2016 – 2021 penjelasan tentang masterplan perencanaan penanganan bencana banjir adalah sebagai berikut : Setidaknya terdapat dua kegiatan yang akan ditempuh ditambah dengan penanganan khusus terhadap beberapa wilayah.
Program dan kegiatan pertama dalam menangani permasalahan banjir di Kota Samarinda adalah dengan meningkatkan panjang saluran air sekaligus mengefisiensikan sanitasi lingkungan. Peningkatan saluran air ini merupakan pembuatan saluran baru atau memperbaiki saluran lama yang telah rusak dengan total saluran sepanjang 286,55 Km di seluruh Kota Samarinda. Sebagian besar peningkatan saluran air berada di Kecamatan Palaran sepanjang 57,25 Km dan paling pendek pembuatan saluran berada di Kecamatan Samarinda Kota sepanjang 18,00 Km.
Kegiatan penanganan bencana banjir kedua adalah pembuatan kolam retensi di beberapa kelurahan. Kolam retensi merupakan kolam yang berfungsi menggantikan peran lahan resapan air yang dijadikan lahan perumahan, perkantoran, maupun lahan tertutup lainnya. Fungsi kolam mini adalah menampung air hujan langsung dan aliran dari sistem untuk diresapkan ke dalam tanah. Dalam kurun waktu 20 tahun, di Kota Samarinda akan dibangun 31 kolam retensi sebagai antisipasi/pencegahan terjadinya bencana banjir di Kota Samarinda yang disebabkan oleh tingginya intensitas hujan.
Pengadaan pompa dan penangkap lumpur merupakan dua kegiatan selanjutnya dalam master plan penanganan bencana banjir dimana dalam kurun waktu 20 tahun akan diadakan 54 unit pompa untuk memompa air sebagai salah satu alat penanganan banjir dan 679 unit penangkap lumpur untuk menangkap lumpur sebagai ikutan dampak terjadinya bencana banjir. Selain keempat kegiatan tersebut di atas, terdapat pula penanganan khusus seperti pembuatan parapet (dinding beton) di Kelurahan Air Hitam, Kelurahan Karang Asam, Kelurahan Sungai Keledang, Sungai Karang Mumus, Bendungan Lempake, dan Sungai Mahakam.
Total panjang parapet yang akan dibangun dalam kurun waktu 20 tahun ini sepanjang 46,5 Km. Sedangkan penanganan khusus selanjutnya dalam master plan adalah dilakukannya normalisasi bendungan lempake sebanyak 200.000 m3. Langkah yang akan ditempuh melalui master plan pengendalian banjir selama 30 tahun itu dengan rumusan permasalahan tentang kualitas penataan lingkungan Kota Samarinda.
Dalam rumusan permasalahan disampaikan bahwa titik banjir belum mengalami penurunan signifikan karena:
- Drainase perkotaan maupun lingkungan perumahan masih belum tertata dengan baik. Daya serap tanah semakin berkurang karena tingginya eksploitas lahan di daerah hulu yang mayoritas karena usaha properti infrastruktur pengendali banjir belum berfungsi maksimal dalam menyelesaikan masalah banjir.
- Relokasi penduduk bantaran Sungai Karang Mumus (SKM) sebagai bagian dari penanggulangan banjir belum terlaksana maksimal
- Selain itu terkait dengan tambang juga ditemukan permasalahan bahwa Rehabilitasi wilayah eksploitasi tambang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Telaah atas kesesuaian antara RKPD dan Kegiatan yang dianggarkan dalam APBD Kota Samarinda 2015 menunjukkan bahwa kesesuaian antara kegiatan yang dianggarkan dalam APBD dengan perencanaan dalam RKPD hanyalah 54%. Ini menunjukkan bahwa ada banyak kegiatan yang dianggarkan dalam APBD tidak ada dalam RKPD atau tata kelola keuangan daerah bias dan tidak tepat sasaran.
Adakah hal ini akan terus berlanjut terutama dalam penganggaran yang terkait dengan pengendalian banjir di Kota Samarinda hingga tahun 2034. Lalu dimana ruang perbaikan untuk DAS Karang Mumus yang telah kehilangan kawasan lindungnya. Hutan sebagai perlindungan DAS Karang Mumus misalnya hanya ada di Kebun Raya Unmul Samarinda. Hutan yang dahulu merupakan satu-satunya sisa hutan alam di Kota Samarinda namun kemudian turun kualitasnya karena mengalami kebakaran. Sehingga vegetasi hutan alam tumbuh menjadi hutan sekunder muda. Dan Hutan KRUS yang dicanangkan sebagai lokasi wisata, pendidikan dan budaya itu hanyalah 0,9% dari DAS Karang Mumus.
Analisis citra landsat tahun 1992 dan 2007 sebagaimana diungkapkan oleh Penny Pujowati (2009) menunjukkan ada peningkatan lahan permukiman sebesar 50%, lahan terbuka meningkat 495,5%, semak belukar meningkat 1,8%, pertanian lahan basah menurun 21,9%, pertanian lahan kering menurun 41,9% dan hutan sekunder menurun 36 %. Dari data ini menjadi jelas bahwa fungsi kawasan DAS Karang Mumus sebagai perlindungan dan penyangga Sungai Karang Mumus semakin menurun dari waktu ke waktu sehingga kemampuan Sungai Karang Mumus untuk mengendalikan banjir di Kota Samarinda juga semakin menurun. Membandingkan antara data-data ini dengan master plan pengendalian banjir Kota Samarinda 2014-2034 nampak ada yang dilupakan.
Jawaban atas banjir di Kota Samarinda lebih didekati dengan proyek pembangunan, yaitu polder, pompa, penangkap lumpur, alat pengeruk lumpur, bendungan pengendali, saluran air dan lain-lain. Pendekatan proyek yang lebih bernuansa pengadaan ini kerap kali selain tak menjawab persoalan, pelaksanaannya juga tak bisa diprediksi atau dipastikan karena tergantung pada kondisi keuangan daerah.
Dan banyak kali proyek juga terhenti karena adanya konflik kepentingan dengan warga misalnya menyangkut ganti rugi. Pendekatan proyek juga membuat kita kurang memberi perhatian pada pemulihan kawasan, yang sebenarnya bisa dilakukan tidak semata-mata lewat proyek melainkan melalui kebijakan, pemantauan dan penegakan peraturan.
Karang Mumus Masa Depan Kota Samarinda
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda 2014 – 2034 (Perda No. 2 Tahun 2014) Kota Samarinda mempunyai tujuan penataan ruang adalah untuk mewujudkan Kota Samarinda menjadi Kota Tepian yang berbasis perdagangan, jasa dan industri yang maju, berwawasan lingkungan dan hijau, serta mempunyai keunggulan daya saing untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam tujuan ini Kota Tepian bukan hanya merupakan semboyan Kota Samarinda yang berarti Teduh, Rapi, Aman dan Nyaman, melainkan sebuah konsep atau cerminan bahwa Kota Samarinda terletak di daerah tepi sungai atau berbatasan langsung dengan air. Dengan konsep Waterfront City Development maka sungai di Samarinda, yaitu Sungai Mahakan dan anak sungainya, salah satunya adalah Sungai Karang Mumus, merupakan salah satu kawasan prioritas/strategis untuk menjadi area wisata.
Namun bagaimanakan wajah sungai di Kota Samarinda pada saat ini?. Tak bisa dipungkiri sungai masih memegang peranan penting. Sungai Mahakam misalnya masih menjadi alur transportasi bagi komoditas dan penumpang. Selain itu sungai juga menjadi pemasok utama kebutuhan air bersih, baik yang diambil secara langsung maupun yang diolah oleh PDAM. Selain itu sungai di Kota Samarinda berfungsi sebagai exit strategi untuk mengendalikan banjir, sebagai pintu keluar untuk mengalirkan air permukaan atau limpasan hujan sehingga tidak mengenangi wilayah Kota Samarinda yang sebagian adalah datar.
Meskipun demikian sungai di Kota Samarinda juga menyimpan banyak permasalahan terutama dari segi pemanfaatan. Salah satu yang utama adalah pemanfaatan tepian sungai untuk permukiman. Dalam Keputusan Walikota Samarinda Nomor: 413.2/028/HK-KS/I/2015 tentang Penetapan Lokasi Kawasan Permukiman Kumuh, dari 9 kawasan permukiman kumuh, 7 diantaranya berada di tepian sungai (Sungai Mahakam, Sungai Karang Mumus dan Sungai Karang Asam).
Permasalahan lainnya adalah kualitas air sungai, data lingkungan dari BLH Kota Samarinda menunjukkan dari tahun 2010 hingga 2014 status air sungai Mahakam Segmen Samarinda, Karang Mumus dan Karang Asam adalah tercemar berat. Pencemaran atau polusi air disebabkan oleh berbagai aktivitas di sepanjang sungai, mulai dari permukiman, adanya pusat ekonomi seperti pasar, industri pengolahan, transportasi air, buangan limbah dan sampah secara langsung ke sungai, serta aktivitas MCK di sepanjang sungai.
Persoalan lain terkait dengan sungai adalah sedimentasi atau pelumpuran yang masif sehingga membuat sungai menjadi dangkal, menyempit dan berubah bentuk. Sedimentasi terjadi karena tata kelola lahan yang tidak didasarkan pada RTRW. Sungai kehilangan daerah penyangga dan perlindungan karena alih fungsi lahan, untuk permukiman, pertambangan dan perladangan. Pun demikian dengan daerah tangkapan air seperti rawa-rawa yang banyak ditimbun atau dimatikan. Lahan pertanian basah yaitu sawah juga mengalami penurunan luasannya dari tahun ke tahun.
Catatan buruk Kota Samarinda yang paling mencolok terkait sungai adalah sampah, limbah dan sanitasi. Pembuangan sampah di sungai, buang air besar dan limbah lain secara langsung terus terjadi di depan mata. Semua catatan ini menjadi tantangan berat bagi Water Front City Development. Apalagi dalam konteks menyediakan lingkungan hidup di sekitar sungai atau yang terkait dengan sungai yang Teduh, Rapi, Aman dan Nyaman sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk melancong di sungai.
Restorasi Sungai Karang Mumus
Dengan melihat visi, misi dan tujuan pembangunan di Kota Samarinda maka terlihat jelas bahwa Sungai Karang Mumus mempunyai kedudukan penting untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan bersama oleh pemerintah dan warga kota. Pentingnya menata Sungai Karang Mumus sebenarnya sudah diwacanakan sejak jaman pemerintahan Walikota Kadrie Onieng. Namun penataan kemudian dilakukan di jaman pemerintahan Walikota Waris Husein, Lukman Said dan diteruskan oleh Walikota H. Achmad Amins.
Namun penataan kemudian terhenti atau tidak berjalan dengan baik saat periode kedua pemerintahan Walikota Achmad Amins yang kemudian dilanjutkan oleh Walikota Saharie Jaang. Hingga memasuki periode kedua pemerintahan Walikota Sjaharie Jaang, geliat penataan Sungai Karang Mumus masih juga terus menjadi wacana namun pelaksanaannya tetap tersendat dan kini harapan masyarakat bertumpu kepada duet Walikota dan Wakil Walikota Dr. H. Andi Harun dan Dr. Sumadi Wongso untuk melanjutkan penataan Sungai Karang Mumus sebagai manivestasi dari Visi Terwujudnya Samarinda sebagai Kota Pusat Peradaban dengan salah satu misinya adalah Mewujudkan kota dengan lingkungan yang aman, nyaman, harmoni dan lestari.
Dalam tataran kebijakan, terkait dengan Sungai Karang Mumus nampaknya pemerintah kota hanya mempunyai skenario tunggal yaitu relokasi atau pemindahan warga di bantaran sungai. Padahal persoalan Sungai Karang Mumus sungguh kompleks. Pemindaan penduduk yang berada di pemukiman bantaran sungai, tidak akan serta merta menyelesaikan persoalan yang membelit Sungai Karang Mumus.
Sungai Karang Mumus sesungguhnya harus didekati dalam konteks DAS, bukan semata pada alur atau palung sungainya belaka. Maka yang diperlukan adalah sebuah upaya restoratisi sungai yang meliputi restorasi ekologi, morfologi, hidrologi, sosio ekonomi dan kebijakan.
Restorasi adalah rangkaian upaya untuk mengembalikan ‘sesuatu’ seperti kondisi semula atau sekurangnya mendekati kondisi awal. Maka yang disebut dengan restorasi ekologi adalah mengembalikan biodiversivity sungai, dimana sungai dan lingkungannya adalah ruang hidup bagi berbagai macam mahkluk mulai dari tumbuhan, binatang, ikan dan organisme lainnya yang berada dalam keseimbangan.
Sedangkan restorasi morfologi terkait dengan bentuk sungai. Dimana bentuk sungai sering kali berubah karena adanya campur tangan manusia dan proses alam seperti pelumpuran, longsor dan lain sebagainya.Sementara restorasi hidrologi terkait dengan mutu air sungai yang merupakan sumber cadangan air maupun sumber air bersih.
Restorasi sosio-ekonomi adalah hubungan antara sungai dengan masyarakat dimana sungai merupakan pendukung penghidupan karena sungai merupakan aset bagi perekonomian warga entah karena apa yang bisa diambil dari sungai atau karena sungai dimanfaatkan untuk apa. Dan restorasi kebijakan adalah serangkaian upaya untuk membuat kebijakan atau peraturan-peraturan yang ditujukan untuk melindungi sungai dan memastikan kemanfaatannya yang berkelanjutan baik bagi warga maupun lingkungan hidup.
Ada banyak langkah yang harus dilakukan untuk merestorasi Sungai Karang Mumus akibat persoalan sudah sedemikian membelit karena pembiaran yang dilakukan selama puluhan tahun. Langkah itu sekurangnya bisa dibagi dalam tiga kluster. Kluster pertama adalah restorasi ekologi, morfologi dan hidrologi, kluster kedua adalah sosio-ekonomi (plus kultural) dan kluster ketiga adalah kebijakan.
Pada kluster pertama pemulihan ekologi, hidrologi dan morfologi yang pertama dilakukan adalah pencegahan sedemintasi yang masif di badan Sungai Karang Mumus lewat pemulihan lahan atau kawasan penyangga dan perlindungan di DAS Karang Mumus. Tepian Sungai Karang Mumus harusnya merupakan ruang terbuka hijau yang ditanami dengan tanaman-tanaman khas atau spesies lokal yang masih ada di beberapa titik sepanjang Sungai Karang Mumus.
Badan Sungai Karang Mumus juga harus dibebaskan dari keberadaan bangunan atau rumah-rumah yang berada di atas sungai. Demikian juga dengan ruang usaha yang berada di tepian sungai, limbahnya harus diolah sebelum dibuang ke sungai. Badan sungai yang mendangkal harus dikeruk dan dibebaskan dari gulma yang di beberapa titik membuat sungai menyempit. Dan untuk mencegah longsor bagian sungai yang bertebing, bisa ditanami dengan jenis tanaman yang mampu mencegah pelongsoran tanah.
Evaluasi menyeluruh juga mesti dilakukan terhadap segenap perijinan yang merubah tata guna lahan di DAS Karang Mumus. Ijin bisa tetap dilanjutkan apabila telah ada rencana untuk pengelolaan lingkungan dan telah dilaksanakan sebagaimana yang direncanakan. Pada kluster kedua terkait pemulihan sosial ekonomi, warga perlu dididik untuk turut menjaga dan merawat Sungai Karang Mumus dengan tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah.
Sungai yang terjaga akan menjadi tempat hidup bagi berbagai jenis ikan serta binatang lainnya yang bisa ditangkap dan memberi penghasilan bagi warga. Di sepanjang Sungai Karang Mumus juga masih tumbuh tetumbuhan yang bisa dikembangkan sebagai produk untuk pemberdayaan ekonomi warga. Seperti produk anyaman dari Bemban atau Enceng Gondok.
Dan kelak jika lingkungan sepanjang sungai bisa tertata dengan baik maka sungai akan menjadi tempat wisata. Masyarakat sepanjang sungai bisa menyediakan berbagai macam jasa penunjang wisata seperti angkutan perahu, kios, kedai, resto atau cafe yang menghadap ke sungai, atau bahkan ada pasar apung.
Sementara untuk kluster ketiga, untuk menjaga dan merawat Sungai Karang Mumus sehingga menjadi aset yang berdaya guna secara berkelanjutan baik sebagai sumber cadangan air bersih, sarana pengendalian banjir maupun sarana sosial ekonomi dan budaya maka diperlukan alas hukum atau segenap peraturan untuk melindunginya. Salah satu yang paling penting adalah peraturan terkait batas sempadan sungai yang selama ini tidak jelas sehingga warga atau pihak lainnya bisa semena-mena menduduki sungai.
Peraturan lain adalah terkait dengan pemanfaatan air dan pembuangan limbah ke dalam sungai. Selama ini kebijakan lebih sering diarahkan ke daerah yang direncanakan untuk direlokasi, sementara daerah lainnya tidak diperhatikan sehingga pertumbuhan kawasan yang memberi tekanan kepada Sungai Karang Mumus tidak dicegah. Terkait pemanfaatan kawasan DAS Karang Mumus untuk pertanian, terutama pertanian lahan kering, hendaknya diarahkan kepada sistem pertanian agroforestry. Dengan demikian akan mendatangkan pendapatan bagi masyarakat sekaligus memberikan perlindungan kepada Sungai Karang Mumus.
Tentu saja daftar masih bisa diperpajang. Namun yang paling penting adalah adanya niat yang kuat dari pemerintah untuk memberi perhatian secara sungguh sungguh terhadap Sungai Karang Mumus dan tidak berdasarkan pendekatan proyek. Sungai Karang Mumus akan bisa dipulihkan jika ruang partisipasi warga untuk turut serta dalam berbagai perencanaan terkait restorasi Sungai Karang Mumus dibuka. Yang paling penting adalah Sungai Karang Mumus tidak bisa didekati dari belakang meja melainkan harus lewat tatap muka, dialog dan diskusi yang produktif antara pemerintah, warga dan pihak lainnya yang terkait dengan Sungai Karang Mumus.
Bibit-bibit partisipasi warga dalam menjaga, merawat dan memulihkan Sungai Karang Mumus sejatinya mulai terlihat di beberapa titik sepanjang Sungai Karang Mumus. Jika ini mampu dirawat dan ditularkan ke titik-titik lainnya maka akan menjadi sebuah kekuatan yang besar untuk bersama-sama menyelesaikan tumpukan persoalan di sepanjang Sungai Karang Mumus.
Penulis: Dr. Jamil B. Sunusi, S.Pd, M.AP
Dosen Universitas Mulawarman